TENTANG
NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK DAN SAAT LAIN PEMBUATAN FAKTUR PAJAK ATAS PENYERAHAN PUPUK TERTENTU UNTUK SEKTOR PERTANIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang | : | a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013 diatur ketentuan mengenai nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak; | |
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2012 diatur ketentuan mengenai saat lain sebagai saat pembuatan faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak dengan karakteristik tertentu; | |||
c. bahwa dalam rangka penyederhanaan mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian, dan memberikan kepastian hukum atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian, perlu mengatur secara tersendiri penetapan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan saat lain pembuatan faktur pajak atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian dalam Peraturan Menteri Keuangan; | |||
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8A ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1a) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Saat Lain Pembuatan Faktur Pajak atas Penyerahan Pupuk Tertentu untuk Sektor Pertanian; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan | : | PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK DAN SAAT LAIN PEMBUATAN FAKTUR PAJAK ATAS PENYERAHAN PUPUK TERTENTU UNTUK SEKTOR PERTANIAN. |
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: | |
1. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. | |
2. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. | |
3. Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat KPA, adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Pengguna Anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya. | |
4. Surat Perintah Membayar, yang selanjutnya disingkat SPM, adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/Kuasa PA/Pejabat Penandatangan SPM untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. |
Pasal 2
(1) Atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian dikenai Pajak Pertambahan Nilai. | ||
(2) Pupuk tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pupuk bersubsidi untuk kebutuhan kelompok tani dan/atau petani di sektor pertanian, yang meliputi Pupuk Urea, Pupuk SP 36, Pupuk ZA, Pupuk NPK dan jenis pupuk tertentu lainnya yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian. | ||
(3) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut: | ||
a. Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pupuk tertentu yang bagian harganya disubsidi termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dibayar oleh Pemerintah; dan | ||
b. Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pupuk tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi, dibayar oleh pembeli. |
Pasal 3
(1) Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Nilai Lain. | |
(2) Nilai Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas bagian harga pupuk tertentu yang disubsidi termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a adalah nilai berupa uang yang dihitung dengan formula 100/110 (seratus per seratus sepuluh) dari jumlah pembayaran subsidi. | |
(3) Nilai Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas bagian harga pupuk tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b adalah nilai berupa uang yang dihitung dengan formula 100/110 (seratus per seratus sepuluh) dari harga eceran tertinggi (HET). | |
(4) Harga eceran tertinggi (HET) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan harga tertinggi pupuk bersubsidi dalam kemasan tertentu sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dan di lini tertentu dibeli oleh kelompok tani dan/atau petani sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. |
Pasal 4
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian mulai dari tingkat produsen, distributor, pengecer hingga ke kelompok tani dan/atau petani dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai satu kali pada tingkat produsen. | |
(2) Produsen, distributor, pengecer, kelompok tani dan/atau petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan produsen, distributor, pengecer, kelompok tani dan/atau petani sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. | |
(3) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dari Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menggunakan Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan oleh KPA pada saat pembayaran subsidi dengan cara pemotongan langsung dari tagihan produsen pada SPM yang berkenaan. | |
(4) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dari Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menggunakan Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh produsen pada saat produsen menyerahkan pupuk tertentu untuk sektor pertanian kepada distributor, atau pada saat pembayaran dalam hal pembayaran dilakukan mendahului penyerahan. |
Pasal 6
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dibuat Faktur Pajak pada saat produsen menyampaikan permintaan pembayaran atau tagihan subsidi pupuk tertentu untuk sektor pertanian kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui KPA. | ||
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut: | ||
a. Lembar ke-1 untuk KPA; | ||
b. Lembar ke-2 untuk produsen; | ||
c. Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). | ||
d. Lembar ke-4 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). | ||
(3) Tata cara pengisian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dibuat Faktur Pajak pada saat produsen menyerahkan pupuk tertentu untuk sektor pertanian kepada distributor, atau pada saat pembayaran dalam hal pembayaran dilakukan mendahului penyerahan. | ||
(5) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 7
(1) Produsen membuat Surat Setoran Pajak (SSP) sesuai dengan jumlah subsidi berdasarkan basil verifikasi dan menyampaikan kepada KPA | ||
(2) Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut: | ||
a. Lembar ke-1 untuk produsen; | ||
b. Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN); | ||
c. Lembar ke-3 untuk produsen dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN); | ||
d. Lembar ke-4 untuk pertinggal Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). | ||
(3) Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan membubuhkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan identitas produsen, dan untuk penandatanganan Surat Setoran Pajak (SSP) dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai penyetor atas nama produsen. | ||
(4) Tata cara pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 8
(1) Pajak Masukan atas perolehan pupuk tertentu untuk sektor pertanian sehubungan dengan penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian antar produsen, dapat dikreditkan. | |
(2) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian yang dilakukan oleh distributor maupun pengecer tidak dapat dikreditkan. |
Pasal 9
(1) Atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian oleh distributor dan pengecer tidak perlu dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. | |
(2) Distributor dan pengecer yang dalam usahanya semata-mata melakukan penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian, tidak perlu dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). | |
(3) Pengusaha yang dalam usahanya selain menyerahkan pupuk tertentu untuk sektor pertanian juga menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak lainnya, berlaku ketentuan mengenai pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 579/KMK.04/1996 tentang Penunjukan Direktorat Jenderal Anggaran Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 452