DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang | : | a. | bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional; |
b. | bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai; | ||
c. | bahwa sistem perpajakan yang tertuang di dalam ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek pajak yang besar peranannya dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri dan sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional; | ||
d. | bahwa oleh karena itu, sesuai pula dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983), perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subyek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat; | ||
e. | bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas, perlu diadakan pembaharuan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku; |
Mengingat | : | 1. | Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2), Undang-Undang Dasar 1945; |
2. | Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara; | ||
3. | Regeling van het Beroep in Belastingszaken (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1748); | ||
4. | Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850); | ||
5. | Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan | : | UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. |
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1. | Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan; | |
2. | Badan adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap; | |
3. | Masa Pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang; | |
4. | Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim atau satu tahun buku; | |
5. | Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu Tahun Pajak; | |
6. | Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; | |
7. | Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat; | |
8. | Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu Tahun pajak; | |
9. | Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran pajak yang terhutang di Kas Negara atau di tempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dan/atau untuk melaporkan ke Direktorat Jenderal pajak; | |
10. | Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi berupa bunga dan denda administrasi; | |
11. | Surat Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terhutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar; | |
12. | Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menambah jumlah pajak yang telah ditetapkan; | |
13. | Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah surat keputusan yang menentukan pengembalian kelebihan pembayaran jumlah pajak yang telah dibayar dan/atau dipotong dan/atau dipungut, karena jumlah pajak yang telah dibayar dan/atau dipotong dan/atau dipungut lebih besar dari pajak yang terhutang; | |
14. | Surat Pemberitaan adalah surat yang berisi pemberitahuan kepada Wajib Pajak, bahwa jumlah pajak yang terhutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang sudah dibayar, dan/atau dipotong, dan/atau dipungut; | |
15. | Pajak yang terhutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; | |
16. | Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak, sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850); | |
17. | Kredit Pajak adalah jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan dikurangkan dari seluruh pajak yang terhutang termasuk apabila ada jumlah pajak atas penghasilan yang terhutang di luar negeri; | |
18. | Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja; | |
19. | Tindakan Pemeriksaan adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas perpajakan dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, untuk mencari bahan-bahan guna penghitungan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang harus dibayar. |
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 2
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan, menandatangani, dan menyampaikannya ke Direktorat Jenderal Pajak dalam wilayah Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan. | |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. | |
(3) | Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: | |
a. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak; | ||
b. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. | ||
(4) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b. | |
(5) | Permohonan sebagaima yang bersangkutan |
Pasal 4
(1) | Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. |
(2) | Dalam hal wajib Pajak adalah Badan, Surat Pemberitahuan harus ditanda tangani oleh pengurus atau direksi. |
(3) | Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus. |
(4) | Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. |
Pasal 5
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Pasal 6
(1) | Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti penerimaan. |
(2) | Pengiriman Surat Pemberitahuan melalui Kantor Pos dan Giro harus dilakukan secara tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. |
Pasal 7
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 8
(1) | Wajib Pajak dapat membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan hutang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung mulai saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu. |
(3) | Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar. |
Pasal 9
(1) | Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terhutang untuk suatu saat atau masa pajak bagi masing-masing jenis pajak, selambat-lambatnya lima belas hari setelah saat terhutangnya pajak atau masa pajak berakhir. |
(2) | Kekurangan pembayaran pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas dalam jangka waktu tiga bulan setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan. |
(3) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau memberikan penundaan pembayaran pajak. |
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terhutang di Kas Negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. |
(2) | Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. |
Pasal 11
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dikembalikan, atau apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai hutang pajak lainnya, langsung dapat diperhitungkan untuk melunasi dahulu pajak yang terhutang. |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu satu bulan setelah Surat Keputusan kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a ditetapkan. |
(3) | Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan. |
(4) | Tata cara perhitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. |
BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.
Pasal 13
(1) | Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut: | |
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang kurang atau tidak dibayar; | ||
b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; | ||
c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak, tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), atau tidak seharusnya diberikan pengembalian pajak; | ||
d. Apabila kewajiban tidak dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terhutang. | ||
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak; Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. | |
(3) | Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: | |
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang kurang atau tidak dibayar dalam satu Tahun Pajak; | ||
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan; | ||
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. | ||
(4) | Jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong dan dipungut oleh pihak ketiga untuk satu Tahun Pajak, jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri, pajak yang ditagih dalam Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak tersebut, serta pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutang di luar negeri untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, dikreditkan dari jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak. | |
(5) | Sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat dikreditkan dari jumlah pajak yang terhutang. | |
(6) | Besarnya pajak yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. | |
(7) | Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut di pidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 14
(1) | Surat Tagihan Pajak dikeluarkan apabila: | |
a. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; | ||
b. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga; | ||
c. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. | ||
(2) | Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. |
Pasal 15
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat Pajak terhutang, berakhirnya masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila diketemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terhutang. |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. |
(3) | Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan, apabila Surat Ketetapan Pajak Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis oleh Wajib Pajak atas kehendak sendiri, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. |
(4) | Apabila jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Tambahan tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut di pidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Pasal 16
Kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak.
Pasal 17
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atau pemeriksaan, menerbitkan: | |
a. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak diterima surat permohonan, apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut ternyata lebih besar dari jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang; | ||
b. Surat Pemberitaan, apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut sama dengan jumlah pajak yang terhutang. | ||
(2) | Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut dianggap dikabulkan. |
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18
(1) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan merupakan dasar penagihan pajak. |
(2) | Tata cara pelaksanaan penagihan pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. |
Pasal 19
(1) | Apabila atas pajak yang terhutang, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak dibayar atau kurang dibayar itu, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terhutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan hari dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut. |
Pasal 20
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan ditagih seketika, dalam hal: | |
1. Wajib Pajak atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya ataupun berniat untuk itu; | |
2. Wajib Pajak atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya; | |
3. Pembubaran Badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Wajib Pajak atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2). |
Pasal 21
(1) | Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak begitu pula atas barang-barang milik wakilnya, serta orang atau Badan yang menurut Pasal 32 ayat (2) dan ketentuan undang-undang perpajakan lainnya, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng. |
(2) | Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan. |
(3) | Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap hak mendahulu dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 angka 1 dan angka 4, Pasal 1149 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 80 dan Pasal 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. |
(4) | Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan, kecuali apabila dalam jangka waktu Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan pembayaran. |
(5) | Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran. |
Pasal 22
Hak untuk melakukan penagihan pajak; termasuk bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan gugur setelah lampau waktu lima tahun terhitung sejak saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) dan Pasal 15 ayat (4).
Pasal 23
Jumlah Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur oleh Menteri Keuangan.
BAB V
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: | |
1. Surat Pemberitahuan; | ||
2. Surat ketetapan Pajak; | ||
3. Surat Ketetapan Pajak Tambahan; | ||
4. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran; | ||
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | ||
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan-alasan secara jelas. | |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. | |
(4) | Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. | |
(5) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan pajak. | |
(6) | Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
Pasal 26
(1) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. |
(2) | Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. |
(3) | Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. |
(5) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. |
Pasal 27
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan, dengan dilampiri salinan Surat Keputusan tersebut. |
(2) | Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. |
(3) | Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1) | Orang atau Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, guna penghitungan jumlah pajak terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Bagi Wajib Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari kewajiban untuk mengadakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya harus menyelenggarakan pencatatan untuk dijadikan dasar pengenaan pajak yang terhutang. |
(3) | Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. |
(4) | Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank, daftar hutang-piutang dan daftar persediaan barang, dan pada setiap Tahun Pajak berakhir Wajib Pajak harus menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya. |
(5) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. |
(6) | Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harus disimpan selama sepuluh tahun. |
Pasal 29
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(2) | Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan harus memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. | |
(3) | Wajib Pajak yang diperiksa harus: | |
a. Memperlihatkan dan meminjamkan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak; | ||
b. Memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; | ||
c. Memberikan keterangan yang diperlukan. | ||
(4) | Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak yang terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 30
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
Pasal 31
Tata cara pemeriksaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1) | Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal: | |
a. Badan oleh pengurus; | ||
b. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan; | ||
c. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; | ||
d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. | ||
(2) | Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut | |
(3) | Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Pasal 33
Pembeli atau penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 34
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(3) | Menteri Keuangan berwenang memerintahkan secara tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ahli-ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari Wajib Pajak kepada Pejabat Pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan Keuangan Negara. Surat Perintah tersebut di atas menyebutkan nama Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya dan nama pemeriksa. |
(4) | Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana; atas permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. |
(5) | Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut. |
Pasal 35
(1) | Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, atas permintaan Direktur Jenderal Pajak pihak ketiga tersebut harus memberikan keterangan atau bukti yang diminta. |
(2) | Dalam hal pihak ketiga yang bersangkutan tersebut terikat oleh kewajiban untuk merahasiakan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 36
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat: | |
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; | ||
b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. | ||
(2) | Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri Keuangan. |
Pasal 37
Perubahan besarnya sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
Barang siapa karena kealpaannya: | |
1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau | |
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, di pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang. |
Pasal 39
(1) | Barang siapa dengan sengaja: | |
a. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau | ||
b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan/atau | ||
c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; dan/atau | ||
d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan/atau | ||
e. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lainnya; dan/atau | ||
f. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar | ||
(2) | Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan. |
Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan;
Pasal 41
(1) | Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, di pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). |
(2) | Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). |
(3) | Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. |
Pasal 42
(1) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan pasal 41 ayat (1) adalah pelanggaran. |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (2) adalah kejahatan. |
Pasal 43
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari wajib Pajak.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) | Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. | |
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang: | |
a. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | ||
b. Melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan; | ||
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perpajakan; | ||
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | ||
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perpajakan; | ||
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. | ||
(3) | Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. |
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya undang-undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Pasal 46
Dengan berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 47
Terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain.
Pasal 50
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
I. UMUM
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di tanah air kita.
Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat.
Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh.
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain: Aturan Bea Meterai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944.
Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatar belakanginya, serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya. Namun perubahan-perubahan tersebut di masa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang kemudian pelaksanaan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan 'sistem MPS dan MPO'. Sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi Indonesia.
Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk merubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan.
Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi:
'Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak di intensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih'.
Oleh karena itu undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial.
Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai 'obyek', tetapi merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya 'aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih', dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.
Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak.
Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi 'ketentuan umum' bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain dari pada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan.
Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman kolonial/ yang antara lain:
Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesggung jawab perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di muka sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh, serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di Indonesia, yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan.
Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan peningkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan Pembangunan Nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dalam pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah perpajakan yang dipergunakan dalam undang-undang ini.
Dengan adanya pengertian tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan, sehingga dapat mencapai kelancaran dan kemudahan baik bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur dalam melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya dicapai tertibnya administrasi perpajakan.
Pengertian ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat teknis dan baku, khususnya dalam bidang perpajakan.
Pasal 2
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self assesment harus mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ).
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Wajib Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Setiap Wajib Pajak dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) akan dikenakan sanksi pidana.
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan ( untuk
selanjutnya disebut SPT ) adalah sebagai sarana Wajib Pajak untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang
dan laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri
dalam satu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dan laporan pembayaran dari
pemotong atau pemungut tentang pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan
lain dalam satu Masa Pajak yang ditentukan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Setiap Wajib Pajak wajib mengambil sendiri SPT yang telah disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, mengisi, menghitung, dan memperhitungkan sendiri
pajak yang terhutang untuk satu Masa Pajak dalam SPT, dan menyampaikan SPT yang
telah diisi dan ditandatanganinya ke Direktorat Jenderal Pajak dalam batas
waktu yang ditentukan. Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah, mengisi
formulir SPT secara benar, jelas, lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan
mengenai penghitungan jumlah pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengisian SPT yang tidak benar yang
berakibat timbulnya kerugian bagi negara akan dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 38 dan Pasal 39 dalam undang-undang ini. Demikian pula
keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT akan dikenakan sanksi administrasi
berupa denda.
Ayat (2)
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak formulir SPT disediakan pada Kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pos dan Giro, Kantor Pos Pembantu, dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu pemasukan SPT. SPT dapat dibedakan menjadi dua, yaitu SPT Masa untuk melaporkan pembayaran masa yang dilakukan oleh Wajib Pajak , dan SPT Tahunan untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang dari penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak dalam satu Tahun pajak. Batas waktu tersebut dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan b adalah batas waktu terakhir. Batas waktu tersebut dianggap cukup memadai bagi wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang atau Badan ternyata tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan Tahunan atau neraca perusahaan beserta daftar rugi laba dalam jangka waktu tiga bulan benar-benar mengalami kesulitan, karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis pembuatan neraca atau laporan keuangan sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terhutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan SPT Tahunan, perlu kiranya ditetapkan persyaratan khusus dan menetapkan sanksi administrasi berupa pungutan bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan khusus tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran Surat Permohonan penundaan kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (6)
Karena SPT itu merupakan alat penelitian atas kebenaran penghitungan pajak terhutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak, maka lampiran tersebut merupakan bagian dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 7
Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang tidak mematuhi kewajiban formal menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi berupa denda administrasi yang ditetapkan sebesar Rp 10.000,- ( sepuluh ribu rupiah ).
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian SPT yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mengetahui tentang adanya ketidakbenaran dalam SPT yang telah disampaikan atau belum menugaskan petugasnya untuk memulai tindakan pemeriksaan.
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan sendiri SPT
tersebut membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah
perhitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula. Atas
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% ( dua persen ) per bulan.
Bunga yang terhutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai
dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal pembayaran
karena adanya pembetulan SPT tersebut. Apabila terdapat kelebihan pembayaran
pajak dalam melakukan pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan oleh petugas perpajakan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan. Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu Pembayaran Masa ditentukan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak boleh melebihi lima belas hari setelah saat terhutangnya atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % ( dua persen ) per bulan.
Ayat (2)
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT Tahunan dalam waktu tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jika pada waktu pengisian SPT tersebut ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terhutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan itu disampaikan, misalnya SPT harus disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terhutang atau setoran terakhir harus sudah dilunasi sebelum SPT disampaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat memperkenankan penundaan pembayaran pajak yang terhutang, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas. Di persyaratkan untuk mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis disertai alasan-alasan yang dapat di pertanggungjawabkan dan meyakinkan.
Pasal 10
Ayat (1)
Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak. Semua penyetoran pajak-pajak negara, harus disetorkan di Kas negara atau tempat-tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, seperti yang selama ini telah ditetapkan yakni di Kantor Pos dan Giro di beberapa Bank Pemerintah. Dengan usaha memperluas tempat-tempat pembayaran pajak yang mudah dijangkau oleh Wajib Pajak, dimaksudkan untuk mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya, sekaligus menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran pajak.
Ayat (2)
Dengan adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak dan pelaporannya yang akan ditentukan dengan Peraturan Menteri Keuangan, demikian juga mengenai tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan mempermudah penampungan administrasinya.
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang dengan jumlah pajak yang telah dibayar menunjukkan jumlah selisih lebih ( jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terhutang ), Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai hutang pajak lain.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai hutang pajak lainnya yang belum dilunasi, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan hutang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak. Untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran tersebut, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat (2)
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan dalam jangka waktu selama-lamanya satu bulan setelah Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini menentukan, bahwa atas setiap kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu tersebut pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2% ( dua persen ) per bulan, dihitung sejak saat berlakunya batas waktu satu bulan sampai saat dilakukan pembayaran. Yang dimaksud dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan pembayaran pajak adalah saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak ( SPMKP ) diterbitkan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 12
Pada prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat dikenakan pajak. Saat terhutangnya pajak tersebut adalah:
Berdasarkan undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas keseluruhan SPT Wajib Pajak. Penerbitan sesuatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak,
yang pada hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam
ayat ini, atau tegasnya hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata
atau berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban
formal dan kewajiban material.
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut,
dibatasi sampai dengan kurun waktu lima Tahun saja.
Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak baru diterbitkan
bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya bahwa Wajib
Pajak tidak atau kurang membayar pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui
bahwa Wajib Pajak kurang membayar dari jumlah yang seharusnya terhutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak dengan sifat pemeriksaan buku
lengkap atau melalui penelitian administrasi perpajakan.
Surat ketetapan Pajak dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak
memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari
data mana dapat dipastikan ( bukan dugaan ), bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban pajaknya sebagaimana mestinya.
Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan
pemeriksaan.
SPT yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara
tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam
Surat Teguran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan.
Terhadap ketetapan seperti ini dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebagaimana diatur dalam ayat (3).
Tegoran itu antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada Wajib
Pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak
dapatnya SPT disampaikan apabila karena terjadinya sesuatu hal di luar
kemampuan ( force mayeur ).
Dalam hal SPT disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran dan pajak yang terhutang dilunasi sebagaimana mestinya, Surat Ketetapan
Pajak tidak akan diterbitkan dengan anggapan bahwa SPT tersebut telah diisi
dengan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan pelanggaran dalam kewajiban
perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, berupa pelaksanaan kompensasi selisih lebih
pembayaran pajak, tarif 0% ( nol persen ) yang semestinya bukan 0% ( nol persen
), pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak perlu terjadi seperti
tersebut dalam ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan
menerbitkan Surat Ketetapan pajak ditambah kenaikan sebesar 100% ( seratus
persen ).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Pasal
28 undang-undang ini atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut
Pasal 29 ayat (2), sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat mengetahui
keadaan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya dan berakibat tidak dapat dihitung
jumlah pajak yang seharusnya terhutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan penghitungan secara jabatan, yaitu
penghitungan pajak yang didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh Wajib
Pajak saja. Sebagai konsekwensinya beban pembuktian atas uraian perhitungan
yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak,
diletakkan pada Wajib Pajak.
Sebagai contoh diberikan antara lain:
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib
Pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a. Sanksi administrasi perpajakan dalam ayat ini berupa sanksi bunga
yang dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak.Ayat (2)
Contoh:
Seorang Wajib Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun
takwim memasukkan SPT Tahunan untuk Tahun 1984 tepat pada waktunya yang
disertai dengan setoran akhir. Pada bulan April 1987 dikeluarkan Surat
Ketetapan Pajak yang menunjukkan kekurangan pajak yang terhutang sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas
kekurangan tersebut dikenakan bunga 2% ( dua persen ) sebulan. Walaupun Surat
Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya
tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua
tahun dengan perhitungan sebagai berikut:
Kekurangan pajak yang terhutang =
Rp 1.000.000,-
Bunga 2 tahun= 2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000
= Rp 480.000,-
Masih harus dibayar =
Rp 1.480.000,-
Seandainya Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan bulan Mei 1986 maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Kekurangan pajak yang terhutang
=
Rp 1.000.000,-
Bunga 17 bulan = 2% x 17 x Rp. 1.000.000 =
Rp 340.000,-
Masih harus dibayar =
Rp 1.340.000,-
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi
administrasi dari suatu Ketetapan Pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi
administrasi demikian berupa 'kenaikan', yaitu suatu jumlah
proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang harus ditagih.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis
pajaknya yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sanksi kenaikan sebesar 50 % ( lima puluh persen ), untuk jenis Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh orang/badan lain sanksi kenaikan sebesar 100% (
seratus persen ), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sanksi kenaikan sebesar 100% ( seratus
persen ).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pajak yang 'dikreditkan' ialah jumlah pengurangan pajak yang terdiri dari:
Jumlah pengurangan tersebut dikurangkan
dari pajak yang terhutang.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan ( SKP PPh ).
Pajak yang dipotong oleh pemberi kerjaPajak yang dibayar sendiri ( setoran masa )Pajak yang ditagih dalam STP (tidak termasuk bunga dan denda)Pajak yang ditagih di luar negeri |
Rp 150.000,- Rp 400.000,- Rp 75.000,- Rp 100.000,- | |
Jumlah pajak yang dikreditkan | Rp 725.000,- |
Ayat (5)
Sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat diperhitungkan atau dikreditkan terhadap jumlah pajak terhutang. Dengan demikian, dalam hal akan dilakukan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jumlah sanksi administrasi perpajakan yang telah dibayar harus dikeluarkan lebih dahulu dari jumlah kelebihan pembayaran yang akan diterima oleh Wajib Pajak.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem 'self assessment', maka apabila dalam waktu lima tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktorat Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, maka jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam SPT Masa atau SPT Tahunan pada hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, SPT Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah (rampung).
Ayat (7)
Dalam hal Wajib Pajak, di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Surat Ketetapan Pajak masih dibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka waktu lima tahun sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) telah dilampaui. Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan
terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak yang ternyata telah ditetapkan lebih
rendah, atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya, atau
pada waktu dilakukan peneta0pan dalam bentuk Keputusan Kelebihan Pembayaran
Pajak, atau penerbitan Surat Pemberitaan, undang-undang ini masih memberikan
wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Ketetapan Pajak
Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutang pajak,
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan
Pajak Tambahan merupakan koreksi atas Surat Ketetapan Pajak sebelumnya. Surat
Ketetapan Pajak Tambahan baru diterbitkan apabila sebelumnya telah pernah
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. Dengan perkataan lain Surat Ketetapan Pajak
Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan
Surat Ketetapan Pajak.
Ayat ini tidak hanya mensyaratkan harus adanya data baru (novum) dalam penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang belum
terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Tambahan, atau baru
diketahui, kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak Surat Ketetapan Pajak Tambahan
masih dapat diterbitkan lagi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Tambahan masih dibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka waktu lima tahun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) telah dilampaui. Dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan Wajib Pajak.
Pasal 16
Apabila terjadi kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan dalam surat ketetapan pajak seperti salah ketik, salah dalam jumlah, salah penerapan tarif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permintaan Wajib Pajak, dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang salah atau keliru tersebut.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini bisa berarti menambah, atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan atau kekeliruannya.
Pasal 17
Ayat (1)
huruf a.
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran
Pajak ( SKKPP ) dapat diterbitkan, setelah oleh Direktur Jenderal Pajak
diadakan penelitian atau pemeriksaan dengan maksud untuk memastikan dan
memberikan keyakinan, bahwa memang benar-benar terdapat kelebihan pembayaran
atas jumlah pajak yang terhutang.
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak tersebut harus diterbitkan dalam
jangka waktu paling lama dua belas bulan setelah surat permohonan
diterima.
Dengan batas waktu tersebut, selain memperhatikan kepentingan kepastian hukum
bagi Wajib Pajak, juga dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
huruf b.
Surat Pemberitaan dapat diterbitkan setelah oleh Direktur Jenderal Pajak diadakan penelitian atau pemeriksaan dengan maksud untuk memastikan dan memberikan keyakinan bahwa memang benar-benar jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak ketiga sama besarnya dengan jumlah pajak yang terhutang.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pada dasarnya besarnya hutang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Baru apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan pajak yang terhutang atau Wajib Pajak melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Ketiga surat ini merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (2)
Untuk tertibnya dan keseragaman tindakan dalam melaksanakan penagihan pajak, Menteri Keuangan akan mengatur tata caranya termasuk aspek administrasi baik mengenai tindakan penagihan itu sendiri maupun aspek pelaksanaan pembayaran atas tagihan.
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak dibayar atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Pajak terhutang Dibayar pada waktunya Kurang Dibayar Bunga Dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp 40.000,- Bunga tersebut ditagih dengan STP. |
= Rp 100.000,- = Rp 60.000,- = Rp 460.000,- = Rp 800,- |
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 20
Dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, maka untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan mengakibatkan pajak yang terhutang tidak dapat ditagih, tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan, penagihannya dapat dilakukan seketika dan sekaligus.
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan Negara
sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik Wajib Pajak, dan barang-barang milik Wakilnya akan dilelang
di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).Dalam hal telah
dilakukan tindakan penagihan sampai kepada tindakan penagihan aktif, seterusnya
pelelangan di muka umum atas barang-barang milik Wajib Pajak, tetapi hasil dari
pelelangan di muka umum barang-barang milik Wajib Pajak tersebut belum cukup
untuk melunasi hutang pajaknya, maka barang-barang milik wakilnya, sepanjang
dalam kedudukannya bertanggung jawab untuk itu, akan disita dan dilelang di
muka umum untuk melunasi hutang pajak Wajib Pajak.
Setelah hutang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada kreditur
lainnya. Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan pada Pemerintah
untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil
pelelangan barang-barang milik Wajib Pajak atau Wakilnya di muka umum guna
menutupi atau melunasi tunggakan pajaknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada ayat ini ditegaskan bahwa hak mendahulu ini melebihi segala hak lainnya, artinya lebih kuat dari hak lainnya kecuali terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 22
Pada dasarnya pelaksanaan penagihan Pajak daluwarsa dalam waktu lima tahun, tetapi dapat saja melebihi lima tahun apabila:
Dalam hal demikian kedaluwarsaan penagihan piutang pajak dihitung dari saat terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut di atas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Menteri Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi. Melalui cara ini akan dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Pasal 25
Ayat (1)
Perkataan 'suatu' dalam ayat ini, dimaksudkan bahwa satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya: Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1985 dan Tahun Pajak 1986. Keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Tahun 1985 dan Tahun 1986 tersebut, harus diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua Tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah Surat Keberatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan Surat Keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan Surat Keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak, karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak ( force mayeur ), maka tenggang waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (4)
Tanda bukti/Resi penerimaan Surat Keberatan sangat diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal. Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya sampai saat diterimanya Surat Keberatan tersebut. Tanda bukti atau resi penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya, untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) itu berakhir. Tanda bukti atau resi penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukannya. Inilah yang dimaksud dengan kata 'kepentingan' dalam ayat ini.
Ayat (5)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat (6)
Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pajak melalui pengajuan Surat Keberatan, maka pengajuan keberatan itu tidak menghalangi tindakan penagihan. Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak di samping terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidak benaran ketetapan pajak, dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan, Surat Ketetapan Pajak secara jabatan, tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan, meskipun telah ditegur secara tertulis, atau tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pejabat pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang. Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka surat keberatannya ditolak.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam hal Wajib Pajak masih merasa kurang puas terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada sekarang Majelis Pertimbangan Pajak, dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan keberatan tersebut. Dengan demikian bagi Wajib Pajak telah diberikan cukup waktu untuk menyiapkan Surat Banding beserta alasan-alasan dan bukti-bukti yang diperlukan bagi badan peradilan pajak tersebut.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (2).
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (6).
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada dasarnya setiap orang/Badan
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diharuskan mengadakan
pembukuan. Tetapi bagi Wajib Pajak yang karena kemampuannya belum memadai,
dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan.
Yang dimaksud dengan 'dibebaskan' dari kewajiban mengadakan pembukuan
dalam ayat ini, tidak diartikan bahwa Wajib Pajak untuk seterusnya tidak
berusaha untuk meningkatkan kemampuannya menyelenggarakan pembukuan secara lengkap
dan baik, sehingga sama sekali tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan
usahanya. Sepanjang kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan
untuk hanya membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang
memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan pajak
yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau perusahaan harus disimpan selama sepuluh tahun, supaya dalam batas waktu tersebut apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak, bahan pembukuan yang diperlukan masih tetap tersedia. Kurun waktu sepuluh tahun harus disimpannya pembukuan dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan adalah taat asas ( konsisten ) dengan ketentuan Pasal 40 undang-undang ini mengenai gugurnya tuntutan pidana perpajakan.
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak, dalam
rangka melaksanakan tugas pemungutan pajak, diberikan wewenang untuk
melaksanakan pemeriksaan, guna keperluan penetapan pajak yang terhutang dan keperluan-keperluan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan-perundang-undangan
perpajakan.
Tujuan pemeriksaan, terutama adalah untuk memperoleh/mengumpulkan bahan-bahan
yang dijadikan dasar untuk:
Pengertian 'tujuan lain' dalam ayat ini dimaksudkan adalah pemeriksaan dalam rangka yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Oleh karena pembukuan, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usaha dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan demikian penting peranannya dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang, maka apabila diminta oleh petugas pemeriksa, Wajib Pajak harus memperlihatkan atau meminjamkannya. Bilamana pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa dibolehkan memasuki tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas pemeriksa digunakan sebagai tempat pemyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu dapat ditiadakan.
Pasal 30
Terhadap orang atau badan yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak bersedia memberi kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk memasuki tempat-tempat/ruangan-ruangan tertentu yang diduga disimpan di dalamnya pembukuan, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan, sehingga pembukuan, dokumen-dokumen, catatan-catatan yang diperlukan tidak dapat diperoleh, maka Wajib Pajak dianggap menghalang-halangi pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk melakukan tindakan penyegelan tempat atau ruangan-ruangan tertentu yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen guna mengamankan atau mencegah hilangnya pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen tersebut.
Pasal 31
Untuk terlaksananya keseragaman, ketertiban, dan kesatuan tindakan pelaksanaan pemeriksaan, perlu diatur ketentuan dan tata caranya dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap Badan, Badan dalam pembubaran, warisan yang belum dibagi dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, guna melakukan tindakan hukum, melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, oleh karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Pengecualian yang dimaksud dalam ayat ini harus dengan pembuktian bahwa dalam kedudukannya sebagai wakil menurut kewajaran dan kepatutan tidak mungkin dimintakan pertangungjawabannya secara pribadi dan/atau secara renteng.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan.
Pasal 33
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa, karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa pertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terhutang apabila ternyata bahwa pajak yang terhutang tersebut tidak dibayarnya.
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapatkan perlindungan, untuk mencegah disalah gunakannya bahan keterangan Wajib Pajak, dalam usaha persaingan dagang atau mengungkapkan keadaan asal usul kekayaan atau penghasilan yang diperoleh, yang pada hakekatnya merupakan rahasia pribadi, sesuai dengan asas hukum pajak.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli/juru bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan, pada hakekatnya adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Untuk kepentingan pengamanan keuangan negara yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa yang ditugaskan untuk itu, baik oleh pejabat pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Menteri Keuangan dapat memberikan izin kepada Badan-badan tersebut, untuk melihat bukti-bukti perpajakan yang terikat dengan kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang ada hubungannya dengan masalah perpajakan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan dapat memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak termasuk pejabat yang ditugaskan dalam badan peradilan perpajakan atau Majelis Pertimbangan Pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara pidana tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, seperti Konsulen Pajak, Akuntan Publik, Notaris dan pihak atau orang lainnya yang ada hubungannya dengan tindakan atau kegiatan usaha Wajib Pajak harus memberikan keterangan dan bukti-bukti yang diminta petugas Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Bahan keterangan atau bukti yang diminta tersebut diperlukan untuk melengkapi bahan keterangan perpajakan guna menghitung dan menentukan besarnya jumlah pajak yang sebenarnya terhutang bagi Wajib Pajak yang diperiksa. Selain itu, ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk mencegah adanya usaha menyembunyikan bahan keterangan atau bukti-bukti mengenai perpajakan di tempat orang lain.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran bagi Wajib Pajak untuk mematuhi atau melakukan kewajiban perpajakannya seperti yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan kewajibannya, sehingga perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja bukan lagi merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih berat daripada perbuatan karena kealpaan yang sifatnya adalah pelanggaran.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah dua kali lipat dari ancaman pidana yang diatur dalam ayat (1).
Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa sepuluh tahun, dari sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu sepuluh tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terhutang, selama sepuluh tahun.
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan pada pihak lain, dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data-data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perpajakan, maka perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran pengungkapan kerahasiaan tersebut. Pelanggaran kerahasiaan yang dilakukan menurut ayat ini, adalah dilakukan karena kealpaannya dalam arti lalai, tidak hati-hati atau tidak memperdulikan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keadaan, keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh undang-undang perpajakan, dilanggar. Atas pelanggaran karena kealpaannya tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan kealpaannya tersebut
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur dalam ayat ini adalah berunsur kesengajaan sehingga mengakibatkan pembocoran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Karena itu hukumannya lebih berat dibanding dengan sanksi pidana yang ditentukan dalam ayat (1). Unsur kesengajaan tersebut menjurus pada kejahatan, karena itu hukumannya sesuai dengan perbuatan kejahatan tersebut.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya, adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 43
Ketentuan pidana di bidang perpajakan tidak saja ditujukan kepada diri Wajib Pajak, tetapi juga kepada pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil, kuasa atau pegawai Wajib Pajak yang diberi pelimpahan tanggung jawab atau tanggung jawab secara renteng atas pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dipercayakan dan dikuasakan padanya.
Pasal 44
Ayat (1)
Penyidikan di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan, sehingga dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi, dan guna menemukan tersangka serta mengetahui besarnya pajak terhutang yang diduga digelapkan. Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana dalam bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 45
Meskipun undang-undang perpajakan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan pajak-pajak terhutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya Undang-undang ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lama, maka Undang-undang ini menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima tahun tersebut disesuaikan dengan daluwarsa penagihan pajak.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ordonansi pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil , sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini.
Ketentuan undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.
Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3262